Transaksi yang Dilarang dalam Islam

Transaksi yang dilarang dalam Islam antara lain :
1.       Objek (Barang/Jasa) yang diharamkan
Semua aktivitas bisnis terkait dengan barang dan jasa yang diharamkan Allah, seperti babi,  khamar atau minuman yang memabukkan, narkoba dsb.
Dalil tentang minuman yang memabukkan:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٩٠
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (QS. al-Maidah (5): 90).
Allah melaknat (mengutuk) khamar, peminumnya, penyajinya, pedagangnya, pembelinya, pemeras bahannya, penahan atau penyimpannya, pembawanya, dan penerimanya.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar).
2.      Riba
Riba berasal dari bahasa Arab yang berarti tambahan (al-ziyadah), berkembang (an-numuw), meningkat (al-irtifa’), dan membesar (al-‘uluw). Dengan demikin definisi riba adalah pengambilan tambahan dalam transaksi pinjam meminjam, bahkan tambahan dalam transaksi jual beli yang dilakukan secara batil juga dapat dikatakan sebagai riba (Wiyono dan Maulamin, 2012:18).
Riba menurut Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah).
Esensi riba menurut Dewan Standar Akuntansi Keuangan (2007:7) adalah setiap tambahan pada jumlah piutang yang dipersyaratkan dalam transaksi pinjam-meminjam uang serta derivasinya dan transaksi tidak tunai lainnya, seperti murabahah tangguh; dan setiap tambahan yang dipersyaratkan dalam transaksi pertukaran antar barang-barang ribawi termasuk pertukaran uang (money exchange) yang sejenis secara tunai maupun tangguh dan yang tidak sejenis secara tidak tunai.

Islam melarang tegas melarang praktik riba dalam perekonomian umat manusia. Allah SWT melarang riba melalui Al-Qur’an dengan empat tahap pelarangan yakni:
  • Allah memberikan pengertian bahwa riba tidak akan menambah kebaikan di sisi Allah. Allah berfirman: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapi keridlaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).”(QS. Ar-Ruum:39).
  • Allah memberikan gambaran siksa bagi Yahudi dengan salah satu karakternya yang suka memakan riba. Allah SWT berfirman, “Maka disebabkan kedhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal mereka sesungguhnya telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.”  (QS. An-Nisaa’ 160-162).
  • Allah SWT melarang memakan riba yang berlipat ganda, seperti firmanNya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran:130).
  • Allah SWT melarang dengan keras dan tegas semua jenis riba, seperti firmanNya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan lepaskanlah sisa-sia riba (yang belum dipungut) jika kamu orang yang beriman, Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu modalmu (pokok hartamu), Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula dianiaya).” (Al-Baqarah: 278-279).
Hadist nabi besar Muhammad SAW tentang riba:
  • “Allah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, dua orang saksinya, dan penulisnya (sekretarisnya/pengadministrasinya).” Diriwayatkan semua penulis Sunah At-Tirmidzi mensahihkan hadist ini).
  • “Satu dirham riba yang dimakan seseorang dengan sepengetahuannya itu lebih berat dosanya dari pada tiga puluh enam berbuat zina.” (diriwayatkan Ahmad dengan sanad shahih).
  • Riba mempunyai tiga puluh tujuh pintu. Pintu yang paling ringan ialah seseorang menikahi ibu kandungnya.” (diriwayatkan Al-Hakim dan ia menshahikannya) (Al-Jazairi, 2001).
3.      Penipuan
Penipuan terjadi apabila salah satu pihak tidak mengetahui pihak lain dan dapat terjadi di dalam empat hal, yaitu kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan (Rusdiana dan Saptaji, 2018:73).
Dalil tentang penipuan:
وَلَا تَلۡبِسُواْ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَٰطِلِ وَتَكۡتُمُواْ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٤٢
Artinya: Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah (2):42).

4.       Maysir

Maysir menurut Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan.
Esensi maysir menurut Dewan Standar Akuntansi Keuangan (2007:8)  adalah setiap transaksi yang bersifat spekulatif dan tidak berkaitan dengan produktivitas serta bersifat perjudian (gambling).
Perjudian adalah transaksi yang melibatkan dua pihak atau lebih yang masing-masing menyerahkan uang/harta kekayaan lainnya kemudian mengadakan permainan tertentu, baik dengan kartu, adu ketangkasan maupun media lainnya (Rusdiana dan Saptaji, 2018:73). Dalil tentang berjudi terdapat pada Surat Al-Maidah (5):90.
5.      Gharar
Gharar menurut Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah.
Esensi gharar menurut Dewan Standar Akuntansi Keuangan (2007:8)  adalah setiap transaksi yang berpotensi merugikan salah satu pihak karena mengandung unsur ketidakjelasan, manipulasi dan eksploitasi informasi serta tidak adanya kepastian pelaksanaan akad. Bentuk-bentuk gharar antara lain:

  • Tidak adanya kepastian penjual untuk menyerahkan obyek akad pada waktu terjadi akad, baik obyek akad itu sudah ada maupun belum ada.
  • Menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual.
  • Tidak adanya kepastian kriteria kualitas dan kuantitas barang/jasa.
  • Tidak adanya kepastian jumlah harga yang harus dibayar dan alat pembayaran.
  • Tidak adanya ketegasan jenis dan obyek akad.
  • Kondisi obyek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan dalam transaksi.
  • Adanya unsur eksploitasi salah satu pihak karena informasi yang kurang atau dimanipulasi dan ketidaktahuan atau ketidakpahaman yang ditransaksikan.
6.      Ikhtikar/penimbun barang
Ikhtikar dilarang karena dapat merugikan orang lain. Dengan ikhtikar orang dapat memperoleh keuntungan yang besar dibawah penderitaan orang lain. Rasulullah SAW bersabda, “…Tidak menimbun barang kecuali orang yang berdosa” (HR Muslim, Turmudzi dan Abu Dawud)(Rusdiana dan Saptaji, 2018:74).

7.       Ba’ian najsy/rekayasa permintaan
An-Najsy termasuk dalam kategori penipuan (tadlis), karena merekayasa permintaan, yaitu satu pihak berpura-pura mengajukan penawaran dengan harga tinggi, agar calon pembeli tertarik dan membeli barang tersebut dengan harga yang tinggi. Rasulullah SAW bersabda, :Janganlah kamu sekalian melakukan penawaran barang tanpa maksud untuk membeli” (HR Tirmidzi) (Rusdiana dan Saptaji, 2018:74).
8.       Risywah/Suap
Risywah menurut Fatwa MUI VI tentang risywah (suap) ghulul (korupsi) dan hadiah kepada pejabat adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syari’ah) atau membatilkan perbuatan yang hak. Pemberi disebut rasyi; penerima disebut murtasyi; dan penghubung antara rasyi dan murtasyi disebut ra’isy.
Firman Allah SWT:
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١٨٨
Artinya, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah (2):188)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa (4):29).
9.         Ta’alluq/penjual bersyarat
Ta’alluq terjadi apabila ada dua akad saling dikaitkan, yaitu berlakunya akad pertama bergantung pada akad kedua sehingga dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya rukun (suatu yang harus ada dalam akad), yaitu objek akad (Rusdiana dan Saptaji, 2018:75).

10.    Bai al-inah
Bai al-inahatau pembelian kembali oleh penjual dari pihak pembeli. Misalnya A menjual secara kredit pada B, kemudian A membeli kembali barang yang sama dari B secara tunai. Dari contoh ini, ada dua pihak yang seolah-olah melakukan jual beli, tetapi tujuannya bukan untuk mendapatkan barang, si A mengharapkan mendapatkan uang tunai, sedangkan si B mengharapkan kelebihan pembayaran (Rusdiana dan Saptaji, 2018:75).
11.   Jual beli dengan cara talaqqi al rukban
Yaitu cara menjumpai pihak penghasil atau pembawa barang perniagaan dan membelinya, pihak penjual tidak mengetahui harga pasar atas barang yang dibawanya, sementara pihak pembeli mengharapkan keuntungan yang berlipat dengan memanfaatkan ketidaktahuan mereka. dalam hadisnya, Rasulullah SAW bersabda, “….Janganlah kamu mencegat kafilah/rombongan yang membawa dagangan di jalan, siapa yang melakukan itu dan membeli darinya, maka jika pemilik barang tersebut tiba di pasar (mengetahui harga), ia boleh berkhiar” (HR Muslim) (Rusdiana dan Saptaji, 2018:75).
Daftar Pustaka
 
Dewan Standar Akuntansi Keuangan. 2007. Kerangka Dasar Penyusunan Dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah. Jakarta: IAI.
Muzakarah Nasional MUI dengan LP.POM tentang Alkohol dalam Produk Minuman tanggal 13-14 Rabiul Akhir 1414 Hijriah/30 September 1993.
Musyawarah Nasional VI MUI tentang Suap (Risywah) Korupsi (Ghulul) dan Hadiah tanggal 23-27 Rabi’ul Akhir 1421 H/ 25-29 Juli 2000.
Rusdiana, H. A. & Saptaji, A. (2018). Auditing Syariah-Akuntabilitas Sistem Pemeriksaan Laporan Keuangan. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Wiyono, S. & Maulamin, T. (2012). Memahami Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*