Akad dan Transaksi Syariah

Pengertian Akad
Lafal akad berasal dari lafal Arab al-‘aqd yang berarti perikatan, perjanjian atau permufakatan al-ittifaq. Secara terminologi fiqih, akad didefinisikan sebagai pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qobul (pernyataan menerima ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan (Haroen, 2000 dalam Wiyono dan Maulamin, 2012:23).
Akad menurut Wiyono dan Maulamin (2012:23) adalah suatu perikatan dan pernyataan menerima ikatan (qobul) sesuai dengan syariah Islamiyah yang mempengaruhi objek yang diperikatkan oleh pelaku perikatan.
Akad menurut No. 21 Tahun 2008 adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.
Berdasarkan penjelasan diatas maka akad dapat di definisikan sebagai perjanjian yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban antara dua orang atau lebih dengan ijab qobul berdasarkan ketentuan syariah.
Rukun Akad
Jumhur Ulama Fiqih menyatakan bahwa rukun akad terdiri dari (Wiyono dan Maulamin (2012:23):
      a.      Pernyataan untuk mengikatkan diri (sighat al-‘aqd)
      b.      Pihak-pihak yang berakad (al-muta’aqidain)
      c.       Objek akad (al-ma’qud ‘alaih)
Menurut Zulkifli (2003) yang kutip oleh Wiyono dan Maulamin (2012:24) menjelaskan bahwa dalam sistem ekonomi syariah pada umumnya akad dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
A.  Akad tabarru’ (Kontrak untuk Transaksi Kebajikan)
Akad tabarru’ digunakan untuk transaksi yang bersifat tolong menolong tanpa mengharapkan adanya keuntungan materiil dari pihak-pihak yang melakukan perikatan, kecuali berharap mendapatkan balasan dari Allah SWT semata. Dalam transaksi ini diperbolehkan untuk memungut biaya transaksi yang akan digunakan habis dalam pengelolaan transaksi tabarru’ ini, sehingga benar-benar tidak ada unsure surplus atau keuntungan material yang diperoleh. Objek tabarru’ ini biasanya adalah sesuatu yang diberikan/dipinjamkan dari suatu pihak ke pihak lain. Jenis-jenis transaksi yang tergabung dalam akad tabarru’ yaitu:
1      Akad Qardh
Transaksi qardh timbul karena salah satu pihak meminjamkan objek perikatan yang berbentuk uang kepada pihak lainnya, tanpa berharap mengambil keuntungan materiil apa pun. Al-Qardh menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional (2001) adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.
Menurut Wikipedia Al-Qardh adalah suatu akad pinjaman (penyaluran dana) kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada Lembaga Keuangan Syariah (LKS) pada waktu yang telah disepakati antara nasabah dan LKS. Qardh dalam dunia perbankan adalah pinjaman uang. Intitusi yang kemungkinan mengelola transaki qardh  ini adalah seperti Baitul al-Mal, Bait al-Zakah, organisasi sosial, bank syariah dan individual. Rukun Al-Qardh adalah sebagai berikut:
a)        Pihak yang meminjam (muqtaridh)
b)       Pihak yang memberikan pinjaman (muqridh)
c)        Dana (qardh)
d)       Ijab qabul (sighat)
2     Akad Rahn
Transaksi rahn timbul karena salah satu pihak meminjamkan suatu objek perikatan yang berbentuk uang kepada pihak lainnya yang disertai dengan jaminan. Intitusi yang kemungkinan mengelola transaksi rahn adalah pegadaian, koperasi dan owner operators. Rukun rahn  antara lain:
a)      Pihak yang menggadaikan (raahin)
b)      Pihak yang menerima gadai (murtahin)
c)      Objek yang digadaikan (marhun)
d)      Hutang (marhun bih)
e)      Ijab qabul (sighat)
3     Akad Hawalah
Transaksi hawalah timbul karena salah satu pihak meminjamkan suatu objek perikatan yang berbentuk uang untuk mengambil alih piutang/utang dari pihak lain. Menurut Antonio (2001) yang dikutip Wiyono dan Maulamin (2012:26) hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggunggnya. Intitusi yang kemugkinan mengelola transaksi hawalah adalah bank syariah. Contoh transaksi ini seperti pembelian kredit rumah syariah. Rukun hawalah antara lain:
a)     Pihak yang berutang (muhil)
b)     Pihak yang berpiutang (muhal)
c)      Pihak yang berutang & berkewajiban membayar utang kepada muhal (muhal ‘alih)
d)     Utang muhil kepada muhal (muhal bih)
e)     Utang muhal alaih kepada muhil
f)       Ijab qabul (sighat)
4     Akad Wakalah
Transaksi wakalah timbul karena salah satu pihak memberikan suatu objek perikatan yang berbentuk jasa atau dapat juga disebut sebagai meminjamkan dirinya untuk melakukan sesuatu atas nama diri pihak lain. Menurut Antonio yang dikutip oleh Wiyono dan Maulamin (2012:27) wakalah adalah penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Transaksi wakalah ini dapat dijumpai pada perbankan, seperti transaksi penagihan, pembayaran, agency, administrasi dan lain-lain. Rukun wakalah antara lain:
a)     Pihak yang pemberi kuasa (muwakkil)
b)     Pihak yang penerima kuasa (wakil)
c)      Objek yang dikuasakan (taukil)
d)     Ijab qabul (sighat)
5     Akad Wadi’ah
Akad wadi’ah timbul karena salah satu pihak memberikan suatu objek perikatan yang berbentuk jasa yang lebih khusus yaitu custodian (penitipan atau pemeliharaan). Menurut Antonio (2001) yang dikutip Wiyono dan Maulamin (2012:28) wadi’ah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lainnya baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Transaksi wadi’ah banyak dijumpai di perbankan syariah, yaitu adanya jasa perhimpunan dana wadi’ah dari nasabah dalam bentuk trustee depository dan quarantee depository.
Jenis-jenis wadi’ah pada pelaksanaannya dibedakan menjadi 2 yaitu:
a)       Wadi’ah yad al-amanah
Akad penitipan barang/uang dimana pihak titipan tidak diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian si penerima titipan.
b)       Wadi’ah yad adh-dhamanah
Akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan barang/uang titipan dan harus bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang/uang tersebut menjadi hak penerima titipan.
Rukun wadi’ah antara lain:
(a)  Barang/uang yang disimpan/dititipkan (wadi’ah)
(b)  Pemilik barang/uang yang bertindak sebagai pihak yang menitipkan (muwaddi)
(c)   Pihak yang menyimpan atau memberikan jasa custodian (mustawda’)
(d)  Ijab qabul (sighat).
6     Akad Kafalah
Transaksi kafalah timbul jika salah satu pihak memberikan suatu objek yang berbentuk jaminan atas kejadian tertentu di masa yang akan datang (contingent quarantee). Menurut Antonio (2001) yang dikutip Wiyono dan Maulamin (2012:30) kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak ke dua atau yang ditanggung.  Akad kafalah ini banyak dipraktikkan diperbankan syariah, seperti personal quarantee, jaminan pembayaran utang, performance bonds (jaminan prestasi). Rukun kafalah antara lain:
a)       Pihak penjamin (kaafil)
b)       Pihak yang dijamin (makful)
c)        Objek penjaminan (makful alaih)
d)       Ijab qabul (sighat)
7     Akad Wakaf
Transaksi wakaf timbul jika salah satu pihak memberikan suatu objek yang berbentuk uang ataupun objek lainnya tanpa disertai kewajiban mengembalikan. Transaksi ini biasanya dikelola oleh suatu lembaga yang sering disebut Badan Wakaf. Objek tersebut digunakan untuk kegiatan kemaslahatan masyarakat dan tidak untuk diperjual belikan.
B.   Akad tijarah (Kontrak untuk Transaksi yang Berorientasi Laba)
Transaksi tijarah sector (sektor swasta) pada umumnya bersifat orientasi laba (profit oriented). Aktivitas pada sektor swasta ini berfungsi menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi melalui kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi. Institusi yang melaksanakan kegiatan ini bisa perusahaan swasta murni ataupun perusahaan Negara yang berciri swasta. Bentuk perusahaannya berupa perusahaan perorangan maupun sharikah (seperti partnership, korporasi maupun lembaga koperasi). Sifat dasarnya transaksi dan kontrak dalam ekonomi syariah datap dikategorikan menjadi dua (Zulkifli, 2003 yang dikutip oleh Wiyono dan Maulamin (2012:31), yakni:
        1.        Kontrak yang secara alamiah mengandung kepastian (NCC)
Natural certainty contract -NCC adalah suatu jenis kontrak transaksi dalam bisnis yang memiliki kepastian keuntungan dan pendapatannya baik dari segi jumlah dan waktu penyerahaannya. Dalam pertukaran suatu perekonomian dan bisnis maka akan melibatkan dua hal penting, yaitu objek pertukaran dan waktu pertukaran. Objek pertukaran pada dasarnya terdiri dari dua macam yakni:
  • ‘Ayn (real asset=harta nyata), berupa barang dan jasa, seperti tanah, gedung, mobil, peralatan, jasa parker, jasa karyawan, jasa guru dan sebagainya.
  • Dayn (financial asset=harta keuangan), harta yang memiliki nilai financial seperti uang dan surat-surat berharga
Sedangkan waktu pertukaran terdiri dari dua jenis, yakni:
  • Naqdan (immediate delivery=penyerahan segera) adalah kondisi pertukaran dimana waktu pertukaran dilakukan secara tunai atau segera atau sekarang (present atau spot).
  • Ghairu Naqdan (deferred delivery=penyerahan tangguhadalah kondisi pertukaran dimana waktu pertukarannya dilakukan dimasa yang akan datang atau ditangguhkan.
Jenis-jenis natural certainty contract dalam perekonomian islam meliputi sebagai berikut:
a)            Akad Ba’i (Akad jual-beli)
Al bai’ dalam istilah fiqih berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal al-bai dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni asy-syira’ (beli). Dengan demikian kata al-bai’ berarti jual, tetapi sekaligus juga beli (Haroen, 2000 yang dikutip oleh Wiyono dan Maulamin (2012:33)). Dalam transaksi bai’ ini penjual telah memasukkan unsur laba dalam harga jualnya dan secara syariat tidak harus memberitahukan kepada pembeli tentang besarnya keuntungan yang ditambahkannya. Dalam akad bai’ harga dan keuntungan sudah bersifat pasti.
Dalil Al-Qur’an tentang jual beli seperti pada Surat Al-Baqarah 275 “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” Juga pada Surat An-Nisa’ 29 “….kecuali dengan jalan perdagangan yang didasari suka sama suka diantara kamu….”
Hadist dari Rifa’ah ibn Rafi’, “Rasulullah SAW ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) yang paling baik. Rasulullah saat itu menjawab: usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati.” (HR al-Bazar dan al-Hakim).
Dari Syuaib, Rasulullah SAW bersabda, “Tiga perkara yang di dalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran secara tangguh, muqaradah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga dan tidak untuk dijual.” (HR Ibnu Majah).
Rukun jual beli (Bai’)
ü   Penjual (bai’)
ü   Pembeli (musytari)
ü   Barang/objek (mabi)
ü   Harga (tsaman)
ü   Ijab qabul (sighat)

Jenis akad jual-beli dibedakan menjadi 3 yaitu:
(1)     Ba’i  al-murabahah  *Selengkapnya klik link berikut Ba’i  al-murabahah 
Jual beli dimana harga jual terdiri dari harga pokok barang yang dijual ditambah dengan sejumlah keuntungan (ribhun) yang disepakati oleh kedua belah pihak, pembeli dan penjual. Penyerahan barang dilakukan pada saat transaksi sementara pembayarannya dapat dilakukan secara tunai, tangguh ataupun dicicil.
Rukun murabahah
(a)     Penjual (bai’)
(b)    Pembeli (musytari)
(c)     Barang/objek (mabi)
(d)    Harga (tsaman)
(e)     Ijab qabul (sighat)
(2)    Ba’i  As-Salam (Jual Beli Pesanan)
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan as-salam sebagai berikut. “Akad yang disepakati untuk membuat sesuatu dengan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya dahulu, sedangkan barangnya diserahkan (kepada pembeli) kemudian hari.”
Dalil Al-Qur’an pada surat Al Baqarah 282, Allah berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai utnuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya….”
Sabda Rasulullah SAW yang berbunyi sebagai berikut:
“Jika kamu melakukan jual beli salam, maka lakukanlah dalam \ukuran tertentu, timbangan tertentu, dan dalam waktu tertentu”. (HR al-Bukhari, Musylim, Abu Daud, an-Nasa’I at-Tirmidzi, dan Ibn Majah dari Ibnu ‘Abbas).
Dalil Al Hadist lainnya,
“Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah datang ke Medinah dimana penduduknya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu tertentu) satu, dua dan tiga tahun. Beliau berkata: “Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui”. (HR Thabrani).
Rukun Bai’ As-Salam antara lain:
(a)         Penjual  (muslam alaih)
(b)         Pembeli (muslam)
(c)          Barang/objek (muslam fihi)
(d)         Harga (ra’sul maal as-salam)
(e)         Ijab qabul (sighat)
(3)    Ba’i al-istishna
Transaksi jual beli seperti prinsip bai’ as-salam yaitu jual beli yang penyerahannya dilakukan kemudian, tetapi penyerahan uangnya/pembayarannya dapat dilakukan secara cicilan atau ditangguhkan. Karena bai’ istishna merupakan jenis khusus dari bai’ as-salam  maka landasan Al-Qur’an dan Al-Hadistnya sama seperti yang berlaku pada bai’ as-salam.
Rukun bai’ al-istishna antara lain:
(a)     Penjual/penerima pesanan (shani’)
(b)    Pembeli/pemesan (musytasni’)
(c)     Barang/objek (masnu’)
(d)    Harga (tsaman)
(e)     Ijab qabul (sighat)
b)            Ijarah (Sewa-menyewa)
Ijarah adalah transaksi pertukaran ‘ayn yang berbentuk jasa atau manfaat dengan dayn.
Dalil Al-Qur’an tentang Ijarah pada surat Al-Baqarah 233 menyatakan,
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Dalil Al-hadist tentang Ijarah diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda, “berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”  (HR Ibnu Majah).
Dilihat dari objeknya ijarah mempunyai objek barang seperti mobil,ruko, rumah dan gedung, dan objek manfaat dari tenaga kerja seperti taxi, gurum dosen dan lainnya. Ruku ijarah  antara lain:
(1)   Penyewa (musta’jir)
(2)  Pemberi sewa (mu’ajir)
(3)  Objek sewa (ma’jur)
(4)  Harga sewa (ujrah)
(5)  Manfaat sewa (manfaah)
(6)  Ijab qabul  (sighat)
c)             Ijarah muntahiyah bitamliik (IMB)
Transaksi ijarah yang diikuti dengan proses perpindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri. Proses perpindahan kepemilikan objek dalam transaksi IMB secara umum dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
(1)   Hibah, transaksi ijarah yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan barang dengan cara hibah dari pemilik objek sewa kepada penyewa.
(2)  Janji untuk menjual, transaksi ijarah yang diikuti dengan janji menjual barang objek sewa dari pemiliki objek sewa kepada penyewa dengan harga tertentu.
Rukun ijarah antara lain:
(1)   Penyewa (musta’jir)
(2)  Pemberi sewa (mu’ajir)
(3)  Objek sewa (ma’jur)
(4)  Harga sewa (ujrah)
(5)  Manfaat sewa (manfaah)
(6)  Ijab qabul  (sighat)
d)            Sharf
Sharf  adalah transaksi pertukaran dayn (mata uang) dengan dyan (mata uang) yang berbeda atau jual beli mata uang yang berbeda. Dalam transaksi sharf penyerahan valuta harus dilakukan secara tunai (naqdan)  dan tidak dilakukan secara tangguh, terkait dengan hal ini maka transaksi forward  tidak dapat dibenarkana dalam islam.
Dalil tentang sharf
Dari Ubadah bin Shamit ra., Nabi Muhammad SAW bersabda,
“emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbang terima. Apabila berlainan jenisnya bolehlah kamu jual sekehendakmu asal tunai.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda,
“Boleh menjual tamar dengan tamar, gandum dengan gandum, syair dengan syair, garam dengan garam, sama sebanding, tunai dengan tunai. Barang siapa menambah atau minta tambah maka  telah berbuat riba kecuali yang berlainan warnanya.” (HR Muslim)
Dari Abu Bakrah ra, Nabi Muhammad SAW bersabda,
“melarang menjual perak dengan perak, emas dengan emas, kecuali sama. Dan Nabi menyuruh kami membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan perak sesuka kami pula” (HR Buchari-Muslim)
Rukun Sharf
(1)          Penjual (bai’)
(2)         Pembeli (musytari’)
(3)         Mata uang yang diperjual belikan (sharf)
(4)         Nilai tukar (si’rus sharf)
(5)         Ijab qabul (sighat)
e)            Barter (Pertukaran Barang dengan Barang)
Barter adalah transaksi pertukaran kepemilikan antara dua barang yang berbeda jenis, seperti menukar unta dengan sepeda motor, menukar sayuran dengan laptop dan sebagainya. Agar barter tidak ada yang dirugikan maka informasi tentang harga dari kedua barang yang dipertukarkan haruslah diketahui oleh kedua belah pihak.
Dalil transaksi barter dari Ubadah bin Shamit ra., Nabi Muhammad SAW bersabda, “emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaknya sama banyaknya, tunai dan timbang terima. Apabila berlainan jenisnya bolehlah kamu jual sekehendakmu asal tunai.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Rukun Barter antara lain:
(1)          Penjual (bai’)
(2)         Pembeli (musytari’)
(3)         barang yang diperjual belikan (mabi’)
(4)         Ijab qabul (sighat)
           2.      Kontrak yang secara alamiah mengandung ketidakpastian (NUC)
  Kontrak atas transaksi yang secara alamiah mengandung ketidakpastian (natural uncertainty contract-NUCmerupakan bagian dari akad tijarah, yaitu akad transaksi dalam ekonomi syariah yang bertujuan mencari keuntungan. Transaksi ini merupakan percampuran antara objek ‘ayn, dayn ataupun suatu aset lain seperti keahlian yang disebut dengan “asy-syirkah” atau perkongsian antara dua belah pihak atau lebih.
Jenis-jenis syirkah dalam perekonomian islam (Zulkifli, 2003 yang dikutip oleh Wiyono dan Maulamin (2012:42), ialah:
(1)   Musyarakah
Musyarakah secara luas adalah akad kerjasama atau percampuran antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu yang halal dan produktif dengan kesepakatan bahwa keuntungan akan dibagikan sesuai dengan nisbah yang disepakati dan risiko akan ditanggung sesuai dengan porsi kerjasama.
Dalil Al-Qur’an yang melandasi Musyarakah
Dalam surat An-Nisa’ 12, Allah SWT telah berfirman, “…maka mereka berserikat dalam sepertiga harta…”
Surat Shaad ayat 24, Allah berfirman, “… dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan  mengerjakan amal-amal sholeh, dan amat sedikit mereka ni….”
Dalil Al-Hadist tentang Musyarakah
Dalam sebuah Hadist Qudsi, Rasulullah SAW mengatakan, “Aku (Allah) merupakan orang ketiga dalam perserikatan antara dua orang, selama salah seorang diantara keduanya tidak melakukan pengkhianatan terhadap yang lain. Jika seseorang melakukan pengkhianatan terhadap orang lain, Aku keluar dari perserikatan antara dua orang itu (HR Abu Daud dan al-Hakim dari Abu Hurairah).
Dalam hadist lain, Nabi Muhammad SAW juga bersabda, “Allah akan ikut membantu do’a untuk orang yang berserikat, selama diantara mereka tidak saling mengkhianati (HR al-Bukhari).
Jenis-Jenis Musyarakah (Asy-Syirkah)
(a)  Musyarakah muwafadhah
Perserikatan/kerjasama dua orang atau lebih pada suatu objek dengan syarat tiap-tiap pihak memasukkan modal yan sama jumlahnya serta melakukan tindakan hukum (kerja) yang sama, sehingga tiap-tiap pihak dapat melakukan perbuatan hukum atas nama orang-orang yang berserikat/kerjasama itu.
Nabi Muhammad SAW telah bersabda, “Jika kamu melakukan mufawadhah, maka lakukanlah dengan cara yang baik…dan lakukanlah mufawadhah, karena akad seperti ini membawa berkah” (HR Ibnu Majah).
Dalam hadist lain dikatakan, “Tiga (bentuk usaha) yang mengandung berkat, yaitu jual beli yang pembayarannya boleh ditunda, mufawadhah, dan mencampur gandum dengan jelai (untuk dimakan) bukan untuk diperjualbelikan” (HR Ibnu Majah).
(b)  Musyarakah al-inan
Perserikatan dalam modal (harta) dalam suatu perdagangan yang dilakukan dua orang atau lebih dan keuntungan dibagi bersama dengan jumlah modal yang tidak harus sama porsinya.
(c)   Musyarakah abdan
Perserikatan yang dilaksanakan oleh dua pihak untuk menerima suatu pekerjan, seperti pandai besi, service alat-alat elektronik, laundry dan tukang jahit. Hasil imbalan yang diterima dari pekerjaan itu dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan mereka berdua. Dengan kata lain, syirkah al-abdan adalah kerjasama atau percampuran tenaga atau profesionalisme antara dua pihak atau lebih (kerjasama profesi).
(d)  Musyarakah wujuh
Serikat/kerjasama atau percampuran antara pemilik dana dengan pihak lain yang memiliki kredibilitas ataupun kepercayaan. Dalam syirkah al-wujuh ini, orang yang memiliki kredibilitas khususnya kredibilitas dalam bisnis, tetapi tidak memiliki modal finansial, bekerjasama dengan pihak yang memiliki modal financial untuk melakukan kegiatan usaha bersama.
(2)  Mudharabah
Persetujuan antara pemilik modal dengan pekerja untuk mengelola uang dari pemilik modal dalam perdagangan tertentu, yang keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakan bersama, sedangkan kerugian yang diderita menjadi tanggungan pemilik modal.
Akad mudharabah menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 1 1 5/DSN-MUI/LX/2017 adalah akad kerja sama suatu usaha antara pemilik modal (malik / shahib al-mal) yang menyediakan seluruh modal dengan pengelola (‘amil/mudharib) dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai nisbah yang disepakati dalam akad.
Rukun Mudharabah antara lain:
(a)     Para pihak yang bersyirkah
(b)    Porsi kerjasama
(c)     Proyek/usaha (masyu’)
(d)    Ijab qabul (sighat)
(e)     Nisbah bagi hasil
Jenis-jenis mudharabah
(a)    Mudharabah   muthlaqah
(b)    Mudharabah muqayyadah
(3)  Muzara’ah
(4)  Musaqah
(5)  Mukhabarah
DAFTAR PUSTAKA
Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al-Qardh. Retrieved December, 2017 from
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 115/DSN-MUI/LX/2017 tentang Akad Mudharabah. Retrieved January, 2018 from
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
Wikipedia Ensiklopedia Bebas. “Perbankan Syariah.” Retrieved December, 2017 from https://id.wikipedia.org/wiki/Al-Qardh
Wiyono, S. & Maulamin, T. (2012). Memahami Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Mitra Wacana Media

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *