PEMBAYARAN PAJAK TERUTANG

PASAL 12

Ayat (1)

Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. (***)

Penjelasan: Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:

      • pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
      • pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; atau
      • pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.

Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).

Berdasarkan Undang-Undang ini, Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib
Pajak

Ayat (2)

Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (***)

Penjelasan: Ketentuan ini mengatur bahwa kepada Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan, tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak atau pun Surat Tagihan Pajak.

Ayat (3)

Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang. (***)

Penjelasan: Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

 

 

 

 

Perubahan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)

  1. Naskah Pertama UU KUP, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
  2. Perubahan Pertama, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 menggunakan simbol (*)
  3. Perubahan Kedua, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 menggunakan simbol (**)
  4. Perubahan Ketiga, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 menggunakan simbol (***)
  5. Perubahan Keempat, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 menggunakan simbol (****)
  6. Perubahan Kelima, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 menggunakan simbol (*****)
  7. Perubahan Keenam, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (menggunakan simbol (******)
  8. Perpu Nomor 2 Tahun 2022 (*******)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*