Teori-Teori Kecurangan

Beberapa Teori Kecurangan : 

Teori C = N + K

Teori C = N + K ini sangat dikenal dalam kepolisian. Simbol C menyatakan criminal (C) sama dengan niat (N) dan kesempatan (K). Teori ini sederhana dan gambling karena meski ada niat melakukan fraud, namun jika tidak ada kesempatan maka fraud tidak akan terjadi (Ardiningsih, 2018:79).

Teori Segitiga Kecurangan (Fraud Triangle Theory)

Cressey 1950 menjelaskan bahwa kecurangan/fraud dilakukan karena tiga faktor  yaitu tekanan, kesempatan dan rasionalisasi yang dikenal dengan teori segitiga kecurangan (fraud triangle theory) merupakan kecurangan yang terjadi karena adanya tekanan, adanya kesempatan dan merasionalisasikan kecurangan agar dapat diterima oleh masyarakat.  Teori ini dikembangkan oleh Donald Cressey, salah satu pendiri Association of Certified Fraud Examiner (ACFE).

Teori segitiga ini terdiri dari Teori ini memiliki tiga elemen utama fraud yaitu:

Tekanan (pressure)

Tekanan adalah dorongan untuk melakukan tindakan kecurangan yang dilakukan oleh karyawan dan manajer. Tekanan ini dibagi menjadi empat kategori yaitu:

  1. Tekanan financial, tekanan ini dipicu karena ketamakan (greed), besar pajak dari pada tiang (living beyond one’s means), besarnya tagihan hutang (high bills or personal debt), kredit yang tidak bisa dibayar (poor credit), kehilangan uang (personal financial losses), kebutuhan yang tidak terduga (unexpected financial needs).
  2. Kebiasaan buruk dari masa lalu yang diterus dilakukan, kebiasaan buruk ini misalnya kebiasaan berbohong, kebiasaan yang membuat orang jadi ketagihan misalnya minum-minuman keras, berjudi dsb.
  3. Tekanan yang muncul dari hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan, tekanan ini seperti kurang puasnya terhadap hadiah/reward yang diberikan perusahaan.
  4. Tekanan-tekanan dari berbagai faktor, salah satu contoh tekanan dari faktor internal keluarga.
  5. Kesempatan (opportunity)

Kesempatan

Kesempatan adalah peluang untuk melakukan kecurangan. Menurut Albrecht, setidaknya ada enam faktor utama meningkatkan peluang untuk melakukan kecurangan yaitu:

  1. Lemahnya kontrol yang dapat mencegah dan/atau mendeteksi perilaku yang mengarah pada tindakan fraud.
  2. Ketidakmampuan menilai kualitas kinerja.
  3. Ketidakmampuan dalam memberikan efek jera pada pelaku fraud.
  4. Kurangnya akses terhadap informasi.
  5. Ketidaktahuan, apatis, dan ketidakmampuan  
  6. Kelemahan pada jejak audit.

Rasionalisasi (rationalization)

Rasionalisasi adalah mencari pembenaran atas tindakan kecurangan yang sudah dilakukan karena menggangap apa yang dilakukan sudah umum/banyak dilakukan oleh orang lain. Seperti kegiatan menyontek dikelas, karena kebanyakan siswa setiap ada ujian melakukan tindakan ini, maka menyontek dianggap bukan merupakan kecurangan. Contoh lainnya tindakan rasionalisasi adalah:

  1. Pelaku merasa sudah banyak berjasa terhadap perusahaan.
  2. Pelaku berpikir bahwa dia hanya meminjam dan akan mengembalikan.

Teori GONE (GONE Theory)

Teori ini dikemukakan oleh Balogna (1995) dengan menggunakan unsur-unsur fraud sebagai berikut (Ardiningsih, 2018:80):

  1. Greed (keserakahan), berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam dirinya.
  2. Opportunity (kesempatan), berkaitan dengan keadaan instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan terhadapnya.
  3. Needs (kebutuhan), berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang menurutnya wajar.
  4. Exposure (pengungkapkan), berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang akan dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku ditemukan melakukan kecurangan.

Teori Fraud Diamond

Fraud diamond merupakan suatu bentuk penyemurnaan dari fraud triangle. Fraud diamond di kemukakan oleh Wolfe dan Hermanson(2004). Fraud ini terdiri dari elemen insentive/pressure, opportunity, rationalization, dan capability. Menurut Wolfe dan Hermanson: “banyak fraud yang umumnya bernominal besar tidak mungkin terjadi apabila tidak ada orang tertentu dengan kapasitas khusus yang ada dalam perusahaan. Opportunity membuka pintu kecurangan, pressure dan rationalization mendorong untuk melakukan dan kecurangan dapat dilakukan jika seseorang memiliki capability.

Modern Fraud Theories

            Teori Ramamoorti (2008) menjelaskan bahwa perilaku merupakan akan penyebab terjadinya kecurangan. Model kecurangan menurut Ramamoorti adalah model ABC yaitu:

A Bad Apple artinya kecurangan dilakukan oleh individu

A Bad Bushel artinya kecurangan terjadi lebih dari satu orang / kolektif/kolusi

A Bad Corp artinya kecurangan terjadi karena dianggap suatu budaya (culture) (contoh budaya gratifikasi yang sudah ternanam sejak zaman dahulu)

Teori Fraud Pentagon

Fraud pentagon theory merupakan pengembangan dari fraud triangle theory oleh Cressey (1953), kemudian fraud diamond theory yang dikembangkan oleh Wolf & Hermanson (2004). Crowe, 2011 mengembangkan teori fraud tiangle dan fraud diamond dengan merubah risk factor fraud berupa capability menjadi competence yang memiliki makna istilah yang sama. Selain itu ada penambahan risk factor berupa arrogance (arogansi). Fraud risk factor dalam teori fraud pentagon adalah:

  1. Pressure (tekanan) yaitu adanya motivasi untuk melakukan dan menyembunyikan tindakan fraud.
  2. Opportunity (peluang).
  3. Rationalization (Rasionalisasi); Rasionalisasi adalah suatu sikap pembenaran terhadap tindakan fraud yang telah dilakukan.
  4. Competence/Capability (kompetensi), adalah keahlian karyawan untuk mengabaikan kontrol internal, mengembangkan strategi penyembunyian, dan mengamati kondisi sosial untuk memenuhi kepentingan pribadinya (Crowe, 2011).
  5. Arrogance (Arogansi), Crowe, 2011 menjelaskan bahwa arogansi merupakan sifat superioritas atas hak yang dimiliki dan merasa bahwa pengendalian internal dan kebijakan perusahaan tidak berlaku untuk dirinya.

Teori Hexagone

Teori Hexagon ditemukan oleh Georgios L. Vousinas Tahun 2016 yang terdiri dari Tekanan terstimulasi, Capability (kapabilitas), Opportunity (peluang/kesempatan), Rationalization (rasionalisasi), Ego (Arrogance), Collusion (Sari dan Nugroho, 2020):

Tekanan terstimulasi

Ketika kinerja perusahaan berada pada titik di bawah rata-rata kinerja industri (Skousen et al., 2009). Keadaan tersebut menunjukkan perusahaan sedang pada kondisi tidak stabil karena kurang mampu memaksimalkan aset yang dimiliki serta tidak dapat menggunakan sumber dana investasi secara efisien. Tekanan (pressure) dapat ditinjau dalam beberapa faktor: financial stability, personal financial need, external pressure).

Capability (kapabilitas)

Aprilia (2017) menjelaskan bahwa adanya tekanan dari pihak eksternal akan menyebabkan manajemen mencari pinjaman dari pihak lain, agar perusahaan dapat bersaing dengan kompetitif. Tekanan tersebut akan menjadi pemicu bagi pihak manajemen untuk melakukan rekayasa terhadap laporan keuangan perusahaan. Manajemen akan lebih mengusahakan segala macam cara untuk mendapatkan pinjaman dan akan berusaha menampilkan laporan keuangan yang sempurna agar dinilai baik kinerjanya.

Opportunity (peluang/kesempatan)

Kesempatan ini dapat terjadi jika pengendalian internal dari perusahaan lemah sehingga mendorong pihak-pihak untuk melakukan kecurangan. Kesempatan ini dapat terjadi ketika sistem pengendalian internal yang lemah maupun ketika terdapat kesempatan untuk mengubah nilai dari perkiraan misalnya perkiraan atas hutang.

Rationalization (rasionalisasi)

Rasionalisasi atau pembenaran dimana pelaku merasa bahwa tindakannya benar saat mereka melakukan kecurangan. Perilaku tersebut muncul disaat seseorang merasa telah berbuat lebih bagi perusahaan, sehingga mereka terdorong untuk mengambil keuntungan yang didasari pemikiran bahwa hal tersebut sah-sah saja selama mereka bekerja dengan benar.

Ego (Arrogance)

Arogansi adalah sikap superioritas atau keserakahan dari orang yang percaya bahwa pengendalian internal tidak berlaku secara pribadi (Crowe, 2012).

Collusion

Vousinas, (2019) kolusi merujuk kepada perjanjian yang menipu suatu pihak dimana pihak yang tertipu sebanyak dua orang atau lebih, untuk satu pihak yang bertujuan untuk mengambil tindakan lain untuk beberapa tujuan kurang baik, seperti menipu pihak ketiga dari hak yang dimilikinya.

Daftar Referensi :

Ardiningsih, A. (2018). Audit Laporan Keuangan. Jakarta: Bumi Aksara

ACFE, Association of Certified Fraud Examiner. (2018). Report to The Nations: Global Study on Occupational Fraud and Abuse. Diakses dari: http://www.acfe. com/report-to-the-nations/2018/

Ramamoorti, S. 2008. The Psychology and Sociology of Fraud: Integrating the Behavioural Sciences Component Into Fraud and Forensic Accounting Curricula. Accounting Education Vol. 23.

Siddiq, F.R., Achyani, F. & Zulfikar. Fraud Pentagon Dalam Mendeteksi Financial Statement Fraud. Seminar Nasional dan The 4th Call for Syariah Paper

YR, D.R. (2017). Fraud Penyebab dan Pencegahan. Bandung: Alfabeta.

Sari, S. P., & Nugroho, N. K. (2020). Financial Statements Fraud dengan Pendekatan Vousinas Fraud Hexagon Model: Tinjauan pada Perusahaan Terbuka di Indonesia. 1st Annual Conference of Ihtifaz, 409–430. http://seminar.uad.ac.id/index.php/ihtifaz/article/download/3641/1023

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*