Konsep Dasar Akuntansi Manajemen

Pengertian Biaya dan Objek Biaya

Biaya adalah kas atau nilai setara kas yang dikorbankan untuk mendapatkan barang atau jasa yang diharapkan memberi manfaat saat ini atau di masa yang akan depan bagi organisasi. Mengurangi biaya yang dibutuhkan untuk mencapai manfaat tertentu berarti membuat perusahaan lebih efisien, akan tetapi biaya harus dikelola dengan strategis. Keunggulan kompetitif akan tercipta apabila perusahaan dapat menyediakan nilai bagi pelanggan yang sama besar atau lebih besar dengan biaya yang lebih rendah dari pesaingnya (Hansen dan Mowen (2009:47).
Biaya peluang (opportunity cost) adalah manfaat yang dikorbankan ketika satu alternatif dipilih dari alternatif lainnya. Contoh perusahaan mungkin memilih menginvestasikan $100.000 dalam persediaan selama setahun dari pada menginvestasikan modal tersebut pada investasi produktif yang memberikan tingkat pengembalian 12%. Biaya peluang dari modal yang tertanam pada persediaan adalah $12.000 (0,12x $100.000), dan hal itu bagian dari biaya persediaan (Hansen dan Mowen (2009:47).
Biaya dikeluarkan untuk mendapatkan manfaat di masa depan (pendapatan). Ketika biaya telah dihabiskan dalam proses menghasilkan pendapatan, biaya dinyatakan kedaluwarsa (expire) yang disebut dengan beban (expenses). Disetiap periode beban akan dikurangkan dari pendapatan dalam laporan laba rugi untuk menentukan laba periode tersebut. Penurunan harga dapat meningkatkan nilai bagi pelanggan, sehingga perusahaan harus mampu mengurangi biaya. Manajer harus memahami biaya dan tren biaya. Pembebanan biaya untuk menentukan biaya dari objek tersebut merupakan informasi penting yang perlu diketahui manajer (Hansen dan Mowen (2009:48).
Objek biaya adalah tempat dimana biaya tersebut akan dibebankan. Objek biaya dapat berupa produk, pelanggan, departemen, aktivitas dsb. Biaya yang dikeluarkan perusahaan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu biaya langsung dan biaya tidak langsung. Misalnya objek biaya produk, biaya langsung yang dapat dibebankan secara akurat pada masing-masing produk adalah biaya bahan baku maupun biaya buruh langsung. Biaya tidak langsung merupakan biaya yang dipakai secara bersama-sama untuk keseluruhan produk yang dihasilkan atau dijual perusahaan (IAI, 2015:3).
Pembebanan Biaya dan Metode Penelusuran
Pembebanan biaya secara akurat pada objek biaya sangat penting. Keakuratan adalah suatu konsep yang relative dan harus dilakukan secara wajar dan logis terhadap penggunaan metode pembebanan biaya. Unsure utama dalam pengembangan pembebanan biaya yang akurat yaitu dengan ketertelusuran. Ketertelusuran (traceability) adalah kemampuan membebankan biaya pada objek biaya dengan cara yang layak secara ekonomi berdasarkan hubungan sebab akibat (Hansen dan Mowen, 2009:50).
Ketertelusuran berarti biaya dapat dibebankan dengan mudah dan akurat, sedangkan penelusuran (tracing) berarti pembebanan aktual biaya pada objek biaya dengan menggunakan ukuran yang dapat diamati atas sumber daya yang dikonsumsi oleh objek biaya (Hansen dan Mowen, 2009:50).
Tiga metode pembebanan biaya antara lain:
1.    Penelusuran langsung (direct tracing)
Penelusuran langsung adalah suatu proses pengidentifikasian dan pembebanan biaya yang berkaitan secara khusus dan fisik dengan suatu objek. Penelusuran ini sering dilakukan dengan pengamatan fisik. Biaya langsung merupakan biaya-biaya yang dapat ditelusuri dengan akurat pada masing-masing objek biayanya. Contoh objek biaya adalah sebuah produk  sepeda. Mengamati jumlah roda dan bagian lainnya, serta jam tenaga kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi setiap sepeda sangat mudah, penggunaan bahan baku dan tenaga kerja dapat dilihat secara fisik sehingga biayanya dapat dibebankan secara langsung pada sepeda tersebut.
2.   Penelusuran penggerak (driver tracing)
Penelusuran penggerak adalah penggunaan penggerak untuk membebankan biaya pada objek biaya. Penelusuran penggerak bergantung pada faktor-faktor sebab akibat, yaitu penggerak untuk membebankan biaya pada objek biaya. Biaya pengidentifikasian penggerak dan penilaian kualitas dari hubungan sebab akibat jauh lebih besar  dibandingkan dengan penelusuran langsung atau alokasi.
3.   Pembebanan tidak langsung
Biaya tidak langsung (indirect cost) adalah biaya-biaya yang tidak dapat dibebankan pada objek-objek biaya, baik dengan menggunakan penelusuran langsung atau penggerak. Pembebanan biaya tidak langsung pada objek biaya disebut alokasi.  Dasar alokasi biaya tidak langsung yang biasanya dipakai perusahaan adalah:
1)      Unit produksi
2)     Unit terjual
3)     Jam buruh langsung
4)     Biaya buruh langsung
5)     Biaya bahan baku langsung
6)     Jam mesin
Salah satu keunggulan alokasi adalah kemudahan dan rendahnya biaya implementasi. Alokasi merupakan metode yang tingkat keakuratan pembebanan biayanya yang paling rendah. Sehingga penggunaannya harus sedapat mungkin dihindari. Kebijakan perhitungan biaya yang terbaik mungkin hanya membebankan biaya (yang ditelusuri) langsung pada objek biaya. Alokasi biaya tidak langsung biasanya bermanfaat untuk tujuan lain, misalnya untuk memenuhi peraturan pelaporan eksternal.
Contoh-contoh topik alokasi biaya yang tidak akurat dalam akuntansi biaya adalah (IAI, 2015:7):
1)      Sistem biaya pesanan (Job Order Costing)
Job order costing merupakan sistem perhitungan biaya produksi yang digunakan untuk perusahaan yang memproduksi barang berdasarkan pesanan. Ciri khas perusahaan ini adalah produk antara satu pesanan bisa dibedakan dengan produk pesanan lainnya. Perhitungan biaya produksi untuk masing-masing pesanan dilakukan melalui job cost sheet yang didalamnya terdapat rincian perhitungan biaya bahan mentah langsung, biaya buruh langsung dan biaya overhead pabrik untuk masing-masing pesanan. Biaya bahan mentah dan biaya buruh langsung dapat dibebankan secara akurat ke masing-masing pesanan, masalahnya karena pencatatan biaya overhead pabrik tidak dilakukan secara rinci untuk masing-masing pesanan, maka biaya tersebut akan di alokasikan pada masing-masing pesanan berdasarkan dasar alokasi tradisional yang menghasilkan akan yang tidak akurat untuk masing-masing pesanan. Total biaya produksi yang tidak akurat tidak memiliki kegunaan bagi manajemen. Hasil perhitungan pesanan digunakan untuk menyusun laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi. Total biaya dari produksi pesanan yang belum selesai akan muncul di laporan posisi keuagan sebagai persediaan akhir barang dalam proses. Total biaya yang sudah selesai namun belum terjual akan muncul di laporan posisi keuangan sebagai persediaan barang jadi akhir, dan total biaya dari produksi pesanan yang sudah terjual akan masuk sebagai beban pokok pada laporan laba rugi perusahaan.
2)     Sistem biaya proses (Process Costing)
Sistem perhitungan biaya proses digunakan untuk perusahaan yang memproduksi barang secara masal. Perhitungan biaya produksi akan dilakukan per batch yang diproduksi, dimana untuk produk sama, hasil produksi antara satu batch dengan batch lainnya tidak dapat dibedakan. Biaya produksi akan dibedakan berdasarkan departemen yang memproduksi barang tersebut. Biaya bahan mentah langsung dan biaya buruh langsung dapat ditelusuri dengan akurat untuk masing-masing bacth,  sedangkan alokasi biaya overhead pabrik tidak akurat. Belum lagi perhitungan biaya ekuivalen per unit yang dihitung berdasarkan metode FIFO akan berbeda dengan biaya ekuivalen per unit yang dihitung berdasarkan metode rata-rata tertimbang (weighted average). Tujuan dari perhitungan biaya ekuivalen per unit pada akhirnya adalah untuk membagi total biaya produksi dari masing-masing department menjadi berapa total biaya produksi yang mewakili produk yang sudah diselesaikan pada departemen tersebut dan akan ditransfer ke departemen berikutnya, serta berapa biaya produksi dari barang-barang yang belum selesai proses pada departemen tersebut. total biaya produksi yang terdapat dalam persediaan barang dalam proses akhir pada masing-masing departemen, nantinya akan dijumlahkan, sehingga menghasilkan total biaya produksi yang masuk dalam persediaan barang dalam proses yang nantinya akan dilaporkan pada laporan posisi keuangan. Sedangkan biaya produksi yang sudah selesai produksi oleh seluruh departemen, kemudian akan dimasukkan dalam persediaan barang jadi, dan kalau sudah terjual akan dimasukkan dalam beban pokok penjualan. Jika dilihat mekanismenya, maka sistem biaya proses memang dirancang untuk kebutuhan inventory costing saja, yang tidak memiliki kegunaan bagi manajemen karena ketidakakuratan dalam perhitungan biaya per unit atau biaya per ekuivalen unitnya.
3)     Joint Costs
Joint costsadalah biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk melakukan suatu proses, dimana dari hasil proses tersebut akan menghasilkan beberapa jenis produk yang disebut dengan joint product. Contoh yang paling sederhana adalah sebuah perusahaan  pertenakan ayam yang memiliki aktivitas memelihara ayam dari kecil sampai dewasa untuk dipotong. Pada perusahaan  ini ayam tidak dijual secara utuh, tetapi dalam bentuk potongan paha, dada dan sebagainya. Alokasi joint costsadalah upaya mengalokasikan berapa pemeliharaan dan pemotongan ayam untuk masing-masing produk yang dihasilkan, seperti paha dan dada. Secara logika pembagian biaya tersebut tidak dapat dilakukan, karena aktivitas pemeliharaan dan pemotongan dilakukan terhadap satu ayam, bukan potongannya. Mengapa dalam cost accounting biaya tersebut harus dialokasikan pada potongan-potongan ayam tadi. Jawabannya adalah untuk menyusun laporan keuangan perusahaan. Misalnya saat perusahaan melakukan tutup buku per tanggal 31 desember, pada persediaan perusahaan masih tersisa 10.000 potong paha, 15.000 potong sayap, dan 3.000 potong dada. Berapa angka persediaan tersebut dalam laporan posisi keuangan perusahaan? Karena semua informasi dalam posisi keuangan harus dibuat dalam bentuk rupiah, maka jumlah potongan-potongan tersebut harus dikalikan dengan biaya per unit yang merupakan hasil alokasi dari joint costs tersebut. Nilai alokasi dari joint costs untuk manajemen sama sekali tidak ada. Hasil alokasi joint costs sama sekali tidak dipakai dalam penentuan keputusan tersebut. Dengan demikian perhitungan biaya per unit dari alokasi joint cost memang juga ditujukan untuk inventory costing saja.
4)     Alokasi Biaya Departemen Penunjang (support Departement Cost Allocation)
Alokasi biaya departemen penunjang memisahkan biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan menjadi biaya untuk masing-masing departemen. Terdapat dua jenis departemen yang mengeluarkan biaya produksi, yaitu:
a)        Departemen produksi, yang merupakan yang terlibat langsung dalam proses produksi perusahaan, seperti departemen perakitan, departemen pengecatan, departemen penyelesaian dan seterusnya.
b)       Departemen penunjang (support department) yang merupakan departemen yang tidak terlibat langsung dalam proses produksi, namun ini dibentuk untuk menunjang kelancaran kegiatan pada departemen produksi. Contoh dari departemen ini adalah departemen pemeliharaan mesin.
Semua biaya yang dikeluarkan oleh departemen produksi akan dibebankan ke produk, karena departemen tersebut memang langsung terlibat dalam proses produksi, sedangkan biaya yang dikeluarkan oleh departemen penunjang tidak bisa secara langsung dibebankan ke produk, namun harus dibebankan terlebih dahulu ke departemen produksi, baru kemudian dibebankan pada masing-masing produk.
Pembebanan biaya departemen penunjang ke departemen produksi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
a)          Direct method, dimana metode ini sesama departemen penunjang dianggap tidak saling melayani, sehingga semua biaya yang dikeluarkan departemen penunjang langsung akan dibebankan pada departemen produksi.
b)         Step Down method, dalam metode ini departemen penunjang diasumsikan melayani departemen penunjang lainnya, namun hubungan tersebut bersifat satu arah. Misalkan jika departemen administrasi pabrik dianggap melayani departemen pemeliharaan mesin, maka departemen pemeliharaan mesin dianggap tidak melayani departemen administrasi pabrik, meskipun pada kenyataannya jika ada kerusakan pada beberapa mesin fotokopi yang terdapat dalam departemen administrasi pabrik, maka departemen yang memperbaiki adalah departemen pemeliharaan mesin.
c)          Reciprocal Method, metode ini mengasumsikan keadaan yang sebenarnya. Jika departemen penunjang yang ada dalam perusahaan memang saling melayani dan pelayanan tersebut dilakukan secara dua arah, maka perhitungan alokasi biaya akan mengasumsikan terdapat pembebanan dua arah.
Alokasi dengan mempergunakan ketiga cara tersebut akan menghasilkan angka yang berbeda. Dari penjelasan diatas, terlihat jelas bahwa metode alokasi reciprocal akan lebih akurat dibandingkan dengan kedua metode lainnya. Jika demikian mengapa metode alokasi direct dan step down juga diperbolehkan walaupun hasilnya kurang akurat. Jawabannya adalah karena pada akhirnya perhitungan biaya produksi per unit yang dibebankan ke produk juga tidak akurat.
Hasil alokasi dari biaya departemen penunjang akan dibebankan pada departemen produksi sebagai penambahan biaya overhead pabrik yang benar-benar dikeluarkan oleh departemen produksi tersebut ditambah dengan biaya yang merupakan hasil alokasi dari departemen penunjang. Seperti yang telah diketahui sebelumnya, biaya overheadpabrik akan dialokasikan secara tradisional dengan mempergunakan dasar unit produksi, biaya buruh langsung, dan seterusnya. Hasil alokasi biaya seperti itu tidak akan menghasilkan pembebanan yang akurat pada masing-masing produknya.
Dengan demikian, meskipun pembebanan biaya departemen penunjang ke departemen produksi dilakukan secara akurat dengan mempergunakan metode reciprocal, namun pembebanan biaya departemen produksi ke masing-masing produk yang tidak akurat. Jika hasil akhir dari perhitungan biaya produksi adalah tidak akurat, maka juga diperbolehkan pembebanan biaya departemen penunjang yang tidak akurat.
5)     Perlakuan akuntansi untuk barang cacat (Scrap, Rework, Spoilage)
Jenis barang cacat dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a)        Rework, yaitu pengerjaan ulang dari barang yang dibuat tidak sesuai dengan spesifikasinya dan setelah dikerjakan ulang dapat dijual dengan harga normal.s
b)       Spoilage, yaitu barang yang cacat atau rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi, sehingga harus dijual dengan harga dibawah normal.
Selain kedua golongan tersebut, terdapat pula scrap, yaitu sisa-sisa produksi misalkan potongan-potongan kain dari proses pembuatan baju. Scrap yang terlalu banyak akan merugikan perusahaan, karena dihasilkan dari proses produksi yang tidak efisien.
Dalam akuntansi biaya, rework dan spoilage yang terjadi dapat dikategorikan sebagai normal loss maupun abnormal loss. Jika itu merupakan normal loss, maka hal tersebut akan meningkatkan biaya per unit dari produk tersebut, sedangkan jika merupakan abnormal loss, maka tidak akan mempengaruhi biaya per unit dari produk tersebut, dan langsung dimasukkan dalam beban pokok penjualan sebagai abnormal loss.
Seluruh topik pembahasan mengenai scrap, rework, spoilageadalah mengenai perlakuan akuntansi untuk kasus-kasus tersebut. jika yang dibahas adalah mengenai peraturan, maka dibutuhkan dalam kaitan untuk menyusun laporan keuangan perusahaan.
Kesimpulannya akuntansi biaya dirancang untuk tujuan inventory costing, yaitu memperkirakan nilai dari biaya produksi yang masuk dalam persediaan barang dalam proses, persediaan barang jadi, serta beban pokok penjualan. Akuntansi biaya bukan ditujukan untuk memberikan informasi bagi manajemen untuk pengambilan keputusan.
 
Harga Pokok Produk dan Jasa
Organisasi akan menghasilkan dua jenis output, yaitu produk berwujud (tangible product)dan jasa (service). Produk berwujud adalah barang yang dihasilkan dengan mengubah bahan baku melalui penggunaan tenaga kerja dan masukan (input) modal, seperti pabrik, lahan dan mesin. Contoh produk berwujud antara lain: televisi, mobil, handphone, pakaian dsb. Jasa adalah tugas atau aktivitas yang dilakukan untuk pelanggan atau aktivitas yang dijalankan oleh pelanggan dengan menggunakan produk atau fasilitas organisasi (Hanson dan Mowen, 2009:53). Contohnya persewaan, jasa audit, jasa penilai, perbankan, dsb.
Perbedaan jasa terhadap barang yang utama dapat diidentifikasi dalam empat dimensi, antara lain (Hanson dan Mowen, 2009:53):
1.    Tidak berwujud (Intangibility)
Tidak berwujud berarti pembeli jasa tidak dapat melihat, merasakan, mendengar atau mencicipi suatu jasa sebelum jasa tersebut dibeli.
2.   Tidak tahan lama (Perishability)
Tidak tahan lama berarti jasa tidak dapat disimpan untuk kegunaan masa depan oleh pelanggan. Beberapa jasa seperti operasi plastik, memberi pengaruh jangka panjang dan tidak perlu diulangi oleh pelanggan tersebut. Contoh jasa yang berulang adalah jasa rekening giro, jasa penjagaan rumah dsb.
3.   Tidak dapat dipisahkan (Inseparability)
Tidak dapat dipisahkan berarti produsen dan pembeli jasa biasanya harus melakukan kontak langsung saat terjadi penukaran. Contoh pemeriksaan gigi mengharuskan dokter dengan pasiennya.
4.   Tidak selalu sama (Heterogenity)
Tidak selalu sama berarti terdapat peluang variasi yang lebih besar pada penyelenggaraan jasa daripada produksi produk. Produk jasa memiliki variasi yang sifatnya luas menyesuaikan dengan kepentingan konsumen. Pengukuran produktivitas dan kualitas serta pengendalian harus dilakukan secara terus menerus.
Harga Pokok Produk
Harga pokok produk (product cost) adalah biaya yang dibebankan pada produk  yang memenuhi tujuan manajerial tertentu. Karena tujuan manajerial bisa berbeda-beda, definisi harga pokok produk pun bisa berbeda tergantung pada tujuan manajerial yang hendak dicapai (Hanson dan Mowen, 2009:55).
Contoh pihak manajemen tertarik dengan analisis tingkat laba strategis. Informasi yang diperlukan manajer adalah semua pendapatan dan biaya yang berhubungan dengan suatu produk. Pada kasus ini rantai nilai harga pokok telah sesuai karena memperhitungkan semua biaya yang diperlukan untuk menilai tingkat laba strategis. Rantai nilai perusahaan adalah seperangkat aktivitas yang dibutuhkan untuk mendesain, mengembangkan, memproduksi, memasarkan, mendistribusikan, dan melayani produk. Apabila tujuan manajer adalah jangka  pendek atau tingkat laba taktis, maka biaya desain dan pengembangan mungkin tidak relevan, khususnya untuk produk yang sudah ada.
Biaya dikelompokkan kedalam dua kategori fungsional utama, yaitu biaya produksi dan biaya non produksi. Biaya produksi adalah biaya yang berkaitan dengan pembuatan barang dan penyediaan jasa. Biaya non produksi adalah biaya yang berkaitan dengan fungsi desain, pengembangan, pemasaran, distribusi, layanan pelanggan, dan adminsitrasi umum. Biaya non produksi sering dibagi menjadi dua kategori yaitu: biaya umum dan biaya administrasi. Biaya umum adalah biaya penjualan yang mencakup baiaya pemasaran, distribusi, dan layanan pelanggan. Biaya administrasi mencakup biaya desain, pengembangan dan administrasi umum (Hanson dan Mowen, 2009:56).
Untuk barang berwujud, biaya produksi dan nonproduksi sering disebut biaya manufaktur dan non manufaktur. Biaya produksi dapat diklasifikasikan lebih lanjut sebagai bahan langsung, tenaga kerja langsung dan overhead. Dalam pelaporan eksternal hanya tiga elemen biaya ini yang dapat dibebankan pada produk (Hanson dan Mowen, 2009:57).
a.    Bahan langsung
Bahan langsung adalah bahan yang dapat ditelusuri secara langsung pada barang atau jasa yang sedang diproduksi. Contoh kain pada kemeja, kayu pada kursi.
b.   Tenaga kerja langsung
Tenaga kerja langsung adalah tenaga kerja yang dapat ditelusuri secara langsung pada barang atau jasa yang sedang diproduksi. Contoh karyawan yang mengubah bahan baku menjadi produk atau jasa.
c.    Overhead
Overhead adalah semua biaya produksi selain bahan baku langsung dan tenaga kerja langsung. Pada perusahaan manufaktur overhead juga dikenal dengan beban pabrik (factory burden)atau overhead manufaktur (manufacturing overhead). Contoh penyusutan mesin, pemeliharaan, perlengkapan, pengawasan, penanganan bahan, listrik, lembur yang tidak dapat di identifikasi penyebabnya dan sebagainya. Apabila lembur karena adanya pesanan khusus, dengan kapasitas produksi yang sudah 100%, maka lembur masuk ke dalam biaya tenaga kerja langsung.
d.   Biaya utama dan konversi
Biaya utama adalah  (prime cost) adalah jumlah dari biaya bahan langsung dan biaya tenaga kerja langsung. Biaya konversi (conversion cost) adalah jumlah dari biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead
e.    Biaya penjualan dan administrasi
Biaya penjualan atau pemasaran adalah biaya-biaya yang diperlukan untuk memasarkan, mendistribusikan, dan melayani produk atau jasa. Contoh biaya penjualan antara lain: gaji dan komisi tenaga penjualan, iklan, pergudangan, pengiriman, dan layanan pelanggan.
Biaya administrasi mencakup biaya penelitian, pengembangan dan administrasi umum. Contoh biaya administrasi umum antara lain: gaji eksekutif puncak, biaya jasa konsultan hukum, pencetakan laporan tahunan dan akuntansi umum.
Laporan Keuangan Eksternal
Demi memenuhi kebutuhan eksternal, biaya-biaya diklasifikasikan berdasarkan fungsi. Biaya produksi dipisahkan dari biaya penjualan dan administrasi. Biaya produksi dipandang sebagai harga pokok produk, sedangkan biaya penjualan dan administrasi dipandang sebagai biaya periode. Biaya produk yang melekat pada produk yang terjual diakui sebagai beban (harga pokok penjualan) pada laporan laba rugi. Biaya produksi yang melekat pada produk yang belum terjual dilaporkan sebagai persediaan di neraca (Hanson dan Mowen, 2009:60).
Laporan laba rugi: Perusahaan manufaktur
Pemasukan yang dihitung menurut klasifikasi fungsional sering disebut sebagai perhitungan pemasukan biaya absorpsi (full costing) karena semua biaya manufaktur dibebankan pada produk. Beban memiliki kategori fungsional utama: harga pokok penjualan dan beban operasi. Harga pokok penjualan (cost of goods sold) adalah biaya bahan langsung, tenaga kerja langsung dan overhead yang melekat pada unit yang terjual. Harga pokok produksi (cost of goods manufactured) mencerminkan total biaya barang yang diselesaikan selama periode berjalan. Biaya yang hanya dibebankan pada barang yang diselesaikan adalah biaya manufaktur dari bahan langsung, tenaga kerja langsung, dan overhead (Hanson dan Mowen, 2009:60).
 Barang dalam proses (work in process) terdiri dari semua unit yang telah diselesaikan sebagian dalam produksi pada titik waktu tertentu. Barang dalam proses awal terdiri atas unit yang diselesaikan sebagian dan telah ada pada awal periode. Barang dalam proses akhir terdiri atas unit barang yang ada pada akhir periode. Contoh laporan laba rugi manufaktur sebagai berikut (Hanson dan Mowen, 2009:61):
Organisasi Manufaktur
Laporan Laba Rugi
Untuk Tahun Berakhir 31 Desember 2008
Penjualan
2.800.000
Harga pokok penjualan
   Persediaan awal barang jadi
500.000
   Harga pokok produksi
1.200.000
Barang yang tersedia untuk dijual
1.700.000
   Persediaan akhir barang jadi
(300.000)
(1.400.000)
Margin kotor
1.400.000
Beban Operasi
   Beban Penjualan
600.000
   Beban administrasi
300.000
(900.000)
Laba sebelum pajak
500.000
Organisasi Manufaktur
Laporan Laba Rugi
Untuk Tahun Berakhir 31 Desember 2008
Bahan baku langsung
Persediaan awal
200.000
Pembelian
450.000
Bahan baku yang tersedia
650.000
Persediaan akhir
(50.000)
Bahan baku langsung yang terpakai
600.000
Tenaga kerja langsung
350.000
Overhead Manufaktur:
Tenaga kerja tidak langsung
122.500
Depresiasi
177.500
Sewa
50.000
Listrik, air dll
37.500
Pajak property
12.500
Pemeliharaan
50.000
450.000
Total tambahan biaya manufaktur
1.400.000
Barang dalam proses awal
200.000
Total biaya manufaktur
1.600.00
Barang dalam proses akhir
(400.000)
Harga pokok produksi
1.200.000
Laporan laba rugi: Perusahaan Jasa
Perusahaan jasa tidak memiliki persediaan awal atau akhir barang jadi. Harga pokok penjualan jasa selama suatu periode sama dengan harga pokok produksi. Barang dalam proses merupakan hal yang mungkin bagi produk jasa, seperti arsitek mungkin memiliki gambar dalam proses. Contoh laporan laba rugi untuk jasa sebagai berikut  (Hanson dan Mowen, 2009:61-63):
 
Laporan Laba Rugi
Organisasi Jasa
Untuk Tahun Berakhir 31 Desember 2008
Penjualan
300.000
Beban:
Harga pokok penjualan jasa
Barang dalam proses awal
5.000
Biaya jasa yang ditambahkan:
Bahan baku langsung
40.000
Tenaga kerja langsung
80.000
Overhead
10.000
220.000
Total
225.000
Barang dalam proses akhir
(10.000)
(215.000)
Margin kotor
85.000
Beban operasi:
Beban penjualan
8.000
Beban administrasi
22.000
(30.000)
Laba sebelum pajak
55.000
Jenis-jenis Sistem Akuntansi Manajemen
Sistem Akuntansi Manajemen dapat diklasifikasikan secara umum sebagai sistem yang berdasarkan fungsi dan sistem yang berdasarkan aktivitas. Sistem akuntansi manajemen berdasarkan fungsi (functional based management-FBM) telah dikenal dari tahun 1900-an dan masih digunakan secara luas dalam sektor manufaktur dan jasa. Sistem akuntansi manajemen berdasarkan aktivitas (activity based management-ABM) merupakam sistem yang lebih baru (dikembangkan dalam 30 tahun terakhir). Sistem biaya berdasarkan aktivitas digunakan secara luas dan pemanfaatanya semakin tinggi, khususnya di antara organisasi-organisasi yang memiliki beragam produk dan pelanggan, produk yang lebih rumit, siklus waktu produk yang lebih pendek, peningkatan prasayarat kualitas, dan tekanan persaingan yang ketat. Contoh sistem aktivitas ditemukan dalam industri medis (rumah sakit dan laboratorium medis), industri keuangan (bank dan bursa saham), industri transportasi, dan dalm semua jenis industri manufaktur (seperti perusahaan elektronik dan mobil).
Model umum untuk sistem akuntansi manajemen berdasarkan fungsi dan berdasarkan aktivitas dapat dilihat sebagai berikut:
 
 Model manajemen berdasarkan fungsi dan aktivitas memiliki dua dimensi. Dimensi vertikal menggambarkan bagaimana biaya dibebankan pada objek biaya, seperti produk dan pelanggan. Dimensi horizontal memperhatikan bagaimana sistem mencoba memperbaiki efisiensi operasional dan mengendalikan biaya.
 Perbedaan Sistem Akuntansi FBM versus ABM
 
Berdasarkan Fungsi
Berdasarkan Aktivitas
1.    Penggerak berdasarkan unit-unit organisasional seperti departemen contoh teknik, pengendalian kualitas dan perakitan adalah fungsi-fungsi yagn di atur dalam departemen.
1. Penggerak berdasarkan unit dan non unit.  Aktivitas dikelompokkan dalam bentuk proses. Contoh pembelian barang, penerimaan barang, dan pembayaran barang adalah aktivitas yang menggambarkan proses pengadaan persediaan.
2.   Intensif dalam pengalokasian. Biaya dibebankan pada unit-unit yang berfungsi, kemudian produk. Menggunakan penelusuran langsung dan penelusuran penggerak. Penelusuran penggerak hanya menggunakan penggerak produksi (tingkat unit) atau pendekatan produksi atau fungsi (functional based costing-FBC) seperti jam kerja dari tenaga kerja langsung, bahan langsung, dan jam kerja mesin.
2. Intensif dalam penelusuran. Biaya ditelusuri hingga aktivitas, kemudian produk. Menggunakan fungsi penelusuran langsung dan penelusuran penggerak. Penggunaan pengerak unit dan non unit, kualitas keseluruhan, dan informasi biaya yang relevan. Contoh “mengerakkan bahan mentah dan bahan setengah jadi dari satu titik ke titik lain dalam suatu pabrik”.
3.   Perhitungan harga pokok produk secara sempit dan kaku
3.  Perhitungan harga pokok  produk secara luas dan fleksibel
4.   Berfokus pada pengelolaan biaya yang menjadi tanggung jawab manajer.
4.  Berfokus pada pengelolaan aktivitas dengan tujuan memperbaiki nilai yang diterima pelanggan dan laba organisasi.
5.    Informasi aktivitas sedikit
5.  Informasi aktivitas terperinci
6.   Maksimalisasi kinerja unit individual. Sistem penghargaan bagi manajer untuk memotivasi dalam mengelola biaya dengan meningkatkan efisiensi operasional unit organisasi mereka.
6. Maksimalisasi kinerja seluruh sistem. Aktivitas lintas fungsi dan garis departemen adalah sistem meluas dalam fokus tertentu dan membutuhkan pendekatan global untuk mengendalikannya.
7.    Penggunaan ukuran keuangan untuk kinerja dengan membandingkan hasil aktual dengan standar atau hasil yang dianggarkan.
7.  Penggunaan ukuran keuangan dan non keuangan untuk kinerja.
Daftar pustaka
Hansen, Don R. dan Maryanne, M. Mowen. (2009). Akuntansi Manajerial Buku I. Edisi 8. Terjemahan oleh Denny Arnos Kwary. Jakarta: Salemba Empat.
Ikatan Akuntan Indonesia. (2015). Modul Chartered Accountat Akuntansi Manajemen Lanjutan. Jakarta: IAI.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*